Oleh: Muhar Syahdi Difinubun
(Alumni Fakultas Ilmu Budaya, Unkhair)
Seperti umumnya wilayah beriklim tropis yang identik dengan pergantian musim, Indonesia, dalam hal ini Maluku Utara atau yang lazim disebut juga Moloku Kie Raha (empat gunung/empat kerajaan), pun tak luput mengalami proses alam tersebut.
Musim penghujan dan kemarau. Di antara keduanya terdapat sebuah periode atau masa transisi yang disebut: pancaroba. Periode ini kerap dialami sebagai masa di mana munculnya berbagai macam penyakit yang menjangkit manusia.
Secara konotatif, pancaroba juga dapat terjadi dalam ruang demokrasi atau yang saya sebut sebagai: pancaroba demokrasi. Pancaroba demokrasi yang melanda Indonesia, termasuk wilayah Maluku Utara, membawa berbagai perubahan sosial, politik, dan ekonomi.
Demokrasi, dengan segala keunggulannya dalam menjamin partisipasi publik dan kebebasan individu, juga memiliki sisi gelap (the dark side) yang harus diwaspadai.
Persaingan politik yang semakin tajam, politisasi identitas etnis, agama dan korupsi adalah beberapa isu yang sering kali menciptakan kerentanan sosial dan merusak nilai-nilai kebersamaan yang telah dijunjung tinggi oleh masyarakat Moloku Kie Raha selama berabad-abad.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Moloku Kie Raha di era demokrasi ini adalah bagaimana menjaga nilai-nilai tradisional dan kebersamaan di tengah perubahan zaman yang terus bergulir.
Penerapan demokrasi yang kadang hanya bersifat prosedural tanpa memahami konteks kultural masyarakat lokal dapat menyebabkan disintegrasi sosial, di mana masyarakat menjadi terpecah belah oleh kepentingan politik jangka pendek atau yang saya sebut juga sebagai ‘demokrasi’ lima-tahunan.
Selain itu, eksploitasi sumber daya alam (natural resources) oleh pihak-pihak luar, tentu bukan tanpa difasilitasi dengan perangkat peraturan dan perundang-undangan oleh ‘pihak-pihak dalam’, seringkali justru mengabaikan kepentingan masyarakat adat, merusak lingkungan, dan memperparah ketimpangan ekonomi di dalam kehidupan masyarakat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Moloku Kie Raha: Melampaui Solidaritas Mekanis
Moloku Kie Raha, dalam konteks ini lebih merepresentasi konsep budaya dan sistem sosial yang mengakar dalam sejarah Maluku Utara. Sistem sosial yang dimaksud tersebut mewakili simbol persatuan empat kerajaan (Kie Raha) besar di Maluku Utara itu sendiri, yakni: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Eksistensi Kie Raha selama ini telah menjadi pilar utama dalam menjaga harmoni dan keseimbangan sosial di wilayah tersebut. Namun, dalam konteks kekinian, terutama dengan dinamika demokrasi yang semakin kompleks, muncul tantangan baru yang menguji ketahanan dan relevansi dari Moloku Kie Raha.
Meskipun demikian, Moloku Kie Raha bukanlah konsep yang anti-demokrasi. Sebaliknya, dapat menjadi fondasi yang kokoh bagi demokrasi yang lebih bermakna dan berkelanjutan di Maluku Utara.
Nilai-nilai seperti musyawarah, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam yang menjadi inti dari Moloku Kie Raha dapat berfungsi sebagai penyeimbang dalam praktik demokrasi modern.
Dalam konteks ini, demokrasi tidak hanya dipahami sebagai sistem politik dengan mekanisme pemilu, tetapi juga sebagai cara hidup yang menghargai keberagaman, inklusifitas dan keadilan.
Moloku Kie Raha dapat berfungsi sebagai filter budaya yang menjaga agar proses demokratisasi tidak merusak tatanan sosial yang telah lama terjalin.
Musyawarah adat, misalnya, dapat dijadikan model partisipasi masyarakat yang lebih inklusif dan otentik dibandingkan dengan politik representasi yang seringkali terdistorsi oleh kepentingan elit.
Selain itu, nilai-nilai solidaritas dan kebersamaan yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Moloku Kie Raha dapat menjadi antidot bagi individualisme dan sektarianisme yang sering kali merusak tatanan demokrasi.
Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Secara teoretis, Émile Durkheim (1858-1917) dalam karyanya “The Division of Labor In Society” membagi jenis solidaritas menjadi dua, yang disebutnya: solidaritas mekanis dan solidaritas organik.
Yang pertama adalah konsep yang muncul dalam masyarakat yang relatif homogen, di mana individu-individu memiliki norma-norma dan nilai-nilai yang seragam. Solidaritas mekanis terjadi ketika individu-individu merasa saling terikat oleh kesamaan mereka dalam keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma.
Kedua, bentuk solidaritas yang terjadi dalam masyarakat yang semakin kompleks, di mana individu-individu memiliki peran yang berbeda dalam mencapai tujuan bersama.
Dalam masyarakat organik, keragaman peran dan tanggung jawab individu-individu diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat. Solidaritas organik mengakui peran yang berbeda dan saling melengkapi di antara individu-individu.
Dalam hemat saya, berdasarkan keterhubungan Moloku Kie Raha sebagai sebuah sistem sosial dengan refleksi Durkheim tentang solidaritas tersebut.
Maka Moloku Kie Raha ialah sebuah realitas tentang bentuk solidaritas yang telah melampaui “doka gosora se balawa, fo magogoru se madudara” (seperti pala dengan fuli-nya, masak dan gugur bersama) atau yang disebut solidaritas mekanis itu.
Sebab, Moloku Kie Raha ialah: “doka dai loko, ahu yo mafara-fara, si rubu-rubu yo mamoi-moi, doka saya rako moi” (bagaikan berjenis kembang di padang rumput, tumbuh hidup terpancar-pancar, terhimpun dalam satu genggaman, bagaikan hiasan serangkai kembang). Moloku Kie Raha meminjam Durkheim, ialah model paripurna dari bentuk solidaritas organik.
Integrasi Nilai Sebagai Ikhtiar Menjaga Moloku Kie Raha
Dalam upaya menjaga Moloku Kie Raha dari pancaroba demokrasi, diperlukan upaya integrasi antara nilai-nilai tradisional dan modern. Pemerintah daerah, tokoh adat, dan masyarakat sipil (civil society) perlu bekerjasama untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan selaras dengan kearifan lokal.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pendidikan tentang sejarah dan nilai-nilai Moloku Kie Raha harus diperkuat, sehingga generasi muda memahami pentingnya menjaga warisan budaya ini dalam menghadapi tantangan zaman.
Di samping itu, kebijakan publik atau political will yang dihasilkan harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat, bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata.
Demokrasi yang diterapkan di Maluku Utara harus mampu mengakomodasi sistem nilai Moloku Kie Raha, menjadikannya sebagai kekuatan moral dan sosial yang dapat mengarahkan proses politik ke arah yang lebih adil dan seimbang.
Setidaknya, dalam ikhtiar kolektif kita ke arah sana, penting kiranya untuk sekadar memeriksa atau membaca kembali elan vital dari nilai-nilai (values) yang berlaku di masyarakat, baik secara tradisional maupun modern.
Sebagai cara atau basis episteme-nya dalam rangka menjaga Moloku Kie Raha. Atau dengan lain perkataan, sebagai upaya mencegah Moloku Kie Raha agar tidak terkontaminasi dari efek buruk pancaroba demokrasi.
Sebagai sebuah penegasan tentang bentuk solidaritas Moloku Kie Raha, maka tak elok rasanya jika tidak merujuk pada pandangan penyair Ibrahim Gibra, nama pena dari Prof. Gufran Ali Ibrahim.
Dalam sebuah karyanya bertajuk “Mengelola Pluralisme” (2004), Ibrahim mengemukakan bahwa dalam paradigma multikultural, konflik sosial menjadi pertanda bahwa toleransi saja tidak cukup kuat untuk menjadi piranti bagi kohesi sosial lintas komunitas.
Toleransi dapat menggerakkan kebersediaan mengakui komunitas atau warga lain, tetapi cenderung menempatkan warga lain tersebut dalam posisi sebagai “orang luar” (outsider).
Baca Halaman Selanjutnya..
Sementara pada level akseptansi, yakni mekanisme penerimaan komunitas lain dalam kesadaran koeksistensi, mendorong proses dan pembelajaran mengenai dasar-dasar hidup bersama (living together).
Persis sebagaimana apa yang didalilkan Durkheim sebelumnya bahwa menjaga Moloku Kie Raha tidak cukup hanya dengan solidaritas mekanis, tapi kudu mencapai derajatnya yang organik. Seperti halnya Ibrahim, yang menegaskan tentang butuh lebih dari sekadar toleransi sebagai piranti kohesi sosial, yakni: akseptansi.
Sehingga baik solidaritas organik maupun akseptansi, dapat digunakan sebagai dua kata kunci (key words) dalam memahami konteks kemajemukan serta model interaksi atau perjumpaan seperti yang ada pada masyarakat Maluku Utara.
Kedua kata kunci tersebut, hemat saya, merepresentasi nilai modern yang dapat diintegrasikan dengan nilai tradisional. Pada masyarakat Maluku Utara, misalnya, dikenal falsafah atau nilai tentang “adat se atorang” atau ketentuan moral yang mengatur tatanan sistem politik, sosial dan budaya masyarakat Maluku Utara pada umumnya.
Syahdan, habis pilpres dan pileg, terbitlah pilkada serentak 2024. Rentetan ‘ritus’ demokrasi ini tentu menjadi ujian dan tantangan yang besar bagi keimanan sosial torang sebagai masyarakat Moloku Kie Raha.
Betapa tidak, efek negatif dari pancaroba demokrasi yang ditandai dengan munculnya berbagai macam penyakit sosial seperti korupsi, politisasi identitas agama, etnis, serta kerusakan ekologi memang membawa kekhawatiran besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat Moloku Kie Raha di masa depan.
Tetapi juga membuka peluang untuk memperkuatnya kembali di masa kini melalui skema pengaturan ‘iklim’-nya yang senantiasa guyub, sejuk dan harmoni oleh semua pihak pemangku kebijakan. Setidaknya, dengan menyoroti pilkada serentak yang telah ditabuh genderangnya ini menjadi momentum strategis.
Tentu dengan mengintegrasikan nilai-nilai tradisional ke dalam proses demokrasi, Maluku Utara dapat mengembangkan model demokrasi yang tidak hanya inklusif secara politik, tetapi juga berakar kuat pada identitas budaya lokal. Sekian!.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 04 September 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/09/rabu-4-september-2024.html