Oleh: Roberto Duma Buladja
(Aktivis Sosial asal Galela, Maluku Utara)
Ketergerusan hutan sebagai ruang hidup masyarakat adat (indigenous people) adalah salah satu problem serius di Indonesia. Masalah ini turut diderita oleh O’ Hongana Manyawa, komunitas masyarakat suku Tobelo Dalam yang hidup dan mendiami hutan Halmahera. Kini, mereka tersebar di pedalaman hutan Halmahera Tengah dan Timur.
Belantara hutan yang sejak dahulu kala adalah rumah (hunian) mereka sedang tergerus dan tergusur oleh kehadiran berbagai industri ekstraktif raksasa di kepulauan Halmahera, Maluku Utara.
Kepulauan Maluku, utamanya di Provinsi Maluku Utara dalam berbagai sumber pemberitaan menyebutkan sebagai lumbung nikel terbesar kedua di Indonesia dengan persentase 44,6 persen setelah Sulawesi dengan jumlah 54.7 persen.
Adapun lokasi persebarannya antara lain di Tanjung Buli, Halmahera Timur maupun Pulau Obi, Halmahera Selatan dan Lelilef, Sawai, Halmahera Tengah.
Selain nikel, Maluku Utara juga memiliki deposit emas antara lainnya di daerah Malifut, Kao Teluk, Loloda Kepulauan, dan beberapa titik lainnya di Kabupaten Halmahera Utara (Transparency International-Indonesia, 2024).
Ibaratnya dua sisi: antara surga dan neraka. Pada satu sisi, keberadaan pertambangan serta kontribusinya telah menempatkan Maluku Utara pada “surga capaian” pertumbuhan ekonomi dengan menjadi salah satu provinsi yang meraih pertumbuhan ekonomi dua digit (23,89 persen) pada 2023.
Namun, pada sisi lainnya, pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor industri ekstraktif nikel ini juga menimbulkan “bara neraka” dengan tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan di wilayah lingkar tambang.
Halmahera Tengah dan Halmahera Timur yang merupakan dua kabupaten dengan puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP) justru memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Berdasarkan data BPS, hingga awal 2023, tingkat kemiskinan di Halmahera Timur tercatat 13,14 persen, sementara Halmahera Tengah 12 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata kemiskinan tingkat provinsi sebesar 6,46 persen (Pardede, 2023).
Aktivitas perluasan area pertambangan di Maluku Utara turut menimbulkan berbagai dampak serius seperti kenaikan deforestasi hutan (Transparency International-Indonesia, 2024), banjir bandang, pencemaran sungai dan akses air bersih (Belseran, 2022).
Belum lagi dampak fatal lainnya seperti jaringan korupsi, serta potensi konflik agraria serta ancaman nyata ketergerusan hutan yang merupakan ruang hidup O’Hongana Manyawa yang bermukim di hutan Halmahera Timur dan Tengah, termasuk di dalamnya dugaan kriminalisasi (Utama, 2023).
Dalam temuan Global Forest Watch tahun 2023 (dalam Pardede, 2024) bahwa sejak 2001-2022, Kabupaten Halmahera Timur telah kehilangan 56.300 hektar tutupan pohon, sedangkan Kabupaten Halmahera Tengah telah kehilangan 26.100 hektar tutupan pohon.
Lantas, bila kawasan hutan tergerus oleh perluasan areal pertambangan, bagaimana dengan nasib dan eksistensi masa depan O’Hongana Manyawa?
Hutan dan Eksistensi O’Hongana Manyawa
Hutan memiliki makna luhur dalam kehidupan O’Hongana Manyawa. Sejak dahulu kala, hutan menjadi sumber pangan yang terus memberi penghidupan bagi anak-cucu.
Melalui aktivitas berburu, meramu, dan berladang, mereka mencukupi kebutuhan makan kesehariannya. Hidup selaras dengan alam atau bergantung pada sumber daya hutan adalah satu-satunya prinsip hidup berkelanjutan yang dipraktikan oleh O’Hongana Manyawa.
Namun, bagi O’Hongana Manyawa, hutan tidak hanya sekadar sumber makanan saja, tetapi juga tempat bersemayam leluhur. Menjaga hutan sama dengan menjaga asal-usul, identitas, dan keberlanjutan hidup komunitas O’Hongana Manyawa.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sebagaimana tradisi masyarakat Tobelo pada umumnya, yang mana setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon.
Praktik luhur ini tentunya menjadi contoh nyata bagaimana hubungan harmoni antara manusia dan alam (Bobero, 2024). Seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat global dan berbagai wacana-gerakan konservasi lingkungan dewasa ini.
Radios Simanjuntak et al., (2015) dalam penelitiannya bertajuk Etnobotani dalam masyarakat O’Hongana Manyawa di Desa Wangongira, Halmahera Utara (2015) mengungkap bahwa masyarakat O’Hongana Manyawa memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan yang dapat dikelompokkan dalam 12 tipe pemanfaatan.
Tipe pemanfaatan yang sebagian besar untuk obat-obatan dan pangan mengindikasikan adanya kemandirian masyarakat O’Hongana Manyawa dalam bidang kesehatan dan pangan.
Besarnya pemanfaatan jumlah spesies tumbuhan yang berasal dari hutan menunjukkan bahwa hutan adalah sumber pengetahuan sekaligus kebijaksanaan lokal bagi O’Hongana Manyawa.
Sejalan dengan hal itu, penelitian Edom, et al., (2019) juga menjelaskan hutan sebagai sumber obat-obatan masyarakat O’Hongana Manyawa yang bermukim di Labi-Labi, Halmahera Timur.
Mereka memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan hutan, seperti akar dan kulit kayu, tali-temali, dan dedaunan tertentu yang diramu menjadi obat-obatan.
Berbagai penyakit yang kerap dialami seperti sakit panas, sakit perut, dan muntah-muntah diobati dengan ramuan yang diolah secara tradisional. Pengetahuan tradisional ini diwariskan lintas generasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dengan demikian, hutan tidak lain merupakan sumber ketahanan pangan, sumber pengalaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan, sistem kepercayaan, dan keberlanjutan hidup O’Hongana Manyawa.
Merusak hutan sama dengan merusak ekosistem hidup O’Hongana Manyawa yang sudah terbangun ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lamnya.
Di dalamnya termasuk spirit keluhuran yang sedemikian mempengaruhi baik-tidaknya keutuhan tatanan hidup O’Hongana Manyawa.
Siapa yang Peduli?
O’Hongana Manyawa atau komunitas suku Tobelo Dalam yang mendiami hutan Halmahera dikategorikan sebagai bagian dari uncontacted tribes (suku yang tidak dapat dijangkau) di Indonesia.
Pengkategorian itu juga sejalan dengan keberadaan mereka yang nomaden melalui aktivitas berburu-meramu guna memenuhi kebutuhan mereka.
Tragisnya, kini mereka sedang menghadapi ancaman serius dari ekspansi industri raksasa ekstraktif yang beroperasi semenjak dekade 1980-an.
Kehidupan komunitas ini diliputi ancaman nyata oleh semangat hilirisasi dan eksploitatif nikel secara besar-besaran di Halmahera. Lantas, siapa yang peduli saat mereka merasa terasing, diasingkan, atau barangkali lebih tepatnya terusir dari rumahnya sendiri.
Setidaknya sejak tahun 1952 telah muncul kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang Tobelo Dalam dari tengah hutan ke pemukiman permanen (kebijakan Resettlement) di sejumlah desa (Duncan, 2002; Martodirdjo, 1991; Utama, 2023).
Baca Halaman Selanjutnya..
Seolah-olah mereka (O’Hongana Manyawa) adalah orang-orang yang hidup di hutan pedalaman dan identik dengan “tertinggal, agresif, jahat, tidak beradab” dan sematan buruk lainnya.
Keberadaan O’Hongana Manyawa dalam relasi dengan negara memang kerap disalahartikan. Juga, dalam banyak hal menunjukkan adanya tindakan marginalisasi dan kriminalisasi yang mereka alami.
Kebijakan Resettlement serta upaya pengajaran nilai-nilai agama justru semakin membuat O’Hongana Manyawa berjarak bahkan tercerabut dari identitas mereka.
Pada akhir tahun 2023, O’Hongana Manyawa menjadi salah satu komunitas suku yang melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melalui Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bersama dengan Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur dan Osing Banyuwangi (Wicaksono, 2023).
Gugatan tersebut sejalan dengan upaya O’Hongana Manyawa untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka, termasuk hak perlindungan atas hutan sebagai ruang hidup mereka dan eksistensinya sebagai masyarakat adat.
Di samping itu, ada banyak gerakan perlawanan dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat akibat adanya dampak buruk dari pertambangan nikel di Halmahera Timur dan Tengah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Misalnya Gerakan #SaveSegea dan #SavePeduliWatoWato yang menghimpun kepedulian masyarakat lokal hingga pada level internasional untuk melakukan aksi protes terhadap adanya dampak dari pertambangan nikel di Maluku Utara.
Mengingat bahwa penambangan nikel yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan dampak negatif bagi seluruh kalangan masyarakat lingkar tambah, tak terkecuali bagi O’Hongana Manyawa.
Konservasi hutan adat melalui kebijakan “penentuan area bebas tambang” menjadi hal urgen saat ini untuk dilakukan oleh pemerintah, agar ada jaminan bagi ruang hidup dan eksistensi O’Hongana Manyawa.
Tentunya hal tersebut merupakan perjuangan bersama (kolektif) dan kolaborasi lintas kelompok. Di samping itu, penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak terselip motif dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi sumber daya hutan adat.
Sejalan dengan upaya itu juga, secara politik-hukum semua pihak tanpa terkecuali perlu mengadvokasi dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sebagai payung hukum dalam memberikan keadilan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 13 Agustus 2024.