Site icon MalutPost.com

“Suara Korban dan Kendala Implementasi UU TPKS di Lapangan”

Oleh: Steffi Graf Gabi
(Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPP GAMKI)

Kabar baik yang diterima oleh segenap masyarakat Indonesia atas disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei 2022 lalu kini telah berusia 2 tahun. Tidak sampai di situ, kabar baik tersebut menuntut semua pihak untuk terus mengontrol proses implementasinya di lapangan.

Ada harapan besar proses penanganan dan penegakan hukum menjadi “terbantu” dengan kehadiran UU TPKS ini karena mengatur lebih detail mengenai jenis kekerasan seksual hingga hak-hak korban. Pun, membuka peluang untuk mengusut kasus minim bukti fisik yang sebelumnya tidak diatur dalam UU ITE dan pornografi bahkan yang disyaratkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Nyatanya, hingga saat ini keluhan datang dari berbagai pihak baik aktivis, pendamping, korban maupun keluarga korban terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Banyak korban sadar akan kasus kekerasan seksual yang dialami tetapi enggan untuk melapor karena merasa keberhasilan nampaknya tidak akan berpihak kepada korban, dengan kata lain korban akan tetap kalah.

Deretan data dan fakta mengenai penanganan dan penegakan hukum kasus kekerasan seksual cukup memprihatinkan. Kasus di Palangkara misalnya, seorang polisi yang terbukti melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur divonis 2 bulan penjara, padahal jaksa menuntut hukuman 7 tahun penjara (Kompas.id, Borneo.co.id).

Adapun beberapa kasus yang telah dilaporkan ke kepolisian mengalami kemandekan dan tidak memberikan kejelasan ataupun keadilan bagi korban, antara lain dugaan kasus kekerasan seksual oleh musisi VS terhadap mahasiswi MT yang telah dilaporkan sejak Maret 2023 di Polres Ternate (KabarHalmahera.com).

Kasus kekerasan seksual terhadap 29 santriwati di sebuah pondok pesantren di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2023 hingga kini masih belum diproses ke pengadilan lantaran jaksa menilai kekurangan bukti (Kompas.com, Republika.co.id).

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual tampak sangat sulit diperjuangkan hingga ke meja persidangan. Minimnya alat bukti menjadi alasan klasik aparat penegak hukum atas mandeknya proses hukum kasus kekerasan seksual.

Keterbatasan bukti awal seperti laporan korban, keluarga dan pengakuan pelaku menjadi faktor yang memengaruhi penegakan hukum terhadap kekerasan seksual. Alasan ini pula yang kerapkali dikedepankan atas dihentikannya penyidikan dan penyelidikan kasus kekerasan seksual (Putra dan Dharmajaya, 2022), sungguh kenyataan yang memilukan hati korban.

Padahal UU TPKS jelas menyebutkan 9 jenis kekerasan seksual mulai dari pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksanaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Ini berarti bahwa menyentuh saja bagian tubuh tertentu seseorang tanpa persetujuan itu pelecehan, apalagi mengusap hingga sampai pemaksaan perkosaan dan terjadinya perkosaan.

Lagipula, pasal 24 dan 25 UU TPKS mengakomodasi alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian tindak pidana kekerasan seksual sebagai alat bukti yang sah, yaitu 1 (satu) keterangan korban ditambah 1 (satu) surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa itu cukup mentersangkakan dan menjerat terduga pelaku.

Dalam soal pemenuhan hak korban, hal pertama yang harus diperhatikan dalam konsep pengaturan terhadap perlindungan korban tindak pidana adalah esensi kerugian yang diderita korban. Yang mana esensi tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik semata tetapi juga memperhatikan aspek psikologis.

Hak korban berupa upaya pemulihan korban sedapat mungkin dikembalikan pada kondisi korban seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Selain itu, hak restitusi adalah hak korban kekerasan seksual yang semestinya ia peroleh sebagai biaya ganti rugi pelaku atas tidak pidana yang dilakukan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Namun, banyak korban enggan mengajukan restitusi akibat dari tidak tersampaikannya informasi penting mengenai maksud biaya restitusi. Korban menganggap bahwa dengan adanya ganti rugi merupakan jalan untuk meringankan atau membebaskan pelaku dari hukuman penjara (Republika.co.id).

Penegak hukum (penyidik) semestinya bertanggungjawab memberi edukasi atau menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak korban sekiranya korban belum memahaminya. Dengan begitu, korban akan tahu dan paham serta dapat menuntut haknya dengan kesadaran penuh sebagaimana yang diatur Undang-undang.

Undang-undang TPKS menuntut negara terintegrasi secara nasional sampai ke daerah. Undang-undang ini dianggap payung hukum yang spesial (lex specialist) karena mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang lain berkaitan dengan hak-hak korban. Sayangnya, 2 tahun sejak disahkan nampaknya belum membawa harapan baru bagi para korban.

Padahal secara formal, sejak diundangkannya UU TPKS sudah bisa digunakan dan diimplementasikan dalam proses penegakan hukum untuk kasus kekerasan seksual (kemenpppa.go.id). Hal ini dikarenakan belum terciptanya kesamaan perspektif secara menyeluruh berbagai elemen yang terlibat dalam penanganan kasus ini yakni pemerintah, aktivis, pendamping, maupun penegak hukum sehingga ini menjadi alasan dibutuhkannya aturan turunan implementasinya di lapangan.

Aktivis dan pendamping korban kerapkali harus melalui aksi massa melakukan demonstrasi memprotes proses penanganan baru kemudian mendapat update informasi terbaru mengenai kasus kekerasan seksual yang sedang bergulir (detikJateng.com., cermat.co.id., kalesang.co.id).

Dalam siaran pers Kementerian PPPA disebutkan terdapat 3 (tiga) Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 (empat) Peraturan Presiden (Perpres) yang tengah diselesaikan dengan variasi tahap penyelesaiannya: ada yang tinggal menunggu penetapan Presiden, ada yang sudah selesai harmonisasi, dan ada yang masih proses harmonisasi.

Dari aturan peraturan pelaksana tesebut, baru ada 1 (satu) Perpres yang diundangkan dalam Lembaran Negara, 3 (tiga) lainnya telah masuk tahapan menunggu paraf persetujuan Menteri terkait dan sisanya masih tahap harmonisasi (kemenpppa.go.id).

Peraturan pelaksana serta aturan turunannya menjadi sangat penting guna pencegahan, penanganan serta penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Secara terintegrasi, dari pusat hingga daerah akan menjadikan ini patokan bahwa aparat penegak hukum dalam merespon dan menangani kasus kekerasan seksual jauh dari perilaku intimidatif maupun diskriminatif terhadap korban.

Demikian halnya jaksa, dan hakim sebagai orang yang bertanggungjawab dalam memutus perkara juga diharapkan memiliki perspektif korban. Sehingga, tanpa takut tidak didengar atau diabaikan, korban akan berani memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan.

Akhirnya, adalah tanggungjawab semua pihak bersama-sama mendorong Presiden, Kementerian/Lembaga terkait untuk segera menandatangani dan mengundangkan peraturan pelaksana UU TPKS dan aturan turunannya demi pencegahan, penanganan serta penegakan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia yang adil bagi korban.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi. Selasa, 18 Juni 2024.

Exit mobile version