Site icon MalutPost.com

Biaya UKT Mahal, Mahasiswa Malas Kuliah, dan Nestapa Orang Tua

Oleh: Achmad Gani Pelupessy
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun)

Di tengah polemik biaya kuliah tunggal (UKT) yang semakin melejit, dua hal yang semestinya jadi perhatian adalah kondisi mahasiswa dan kondisi orang tua. Berkaitan dengan dua hal tersebut, pertama: apakah mahasiswa sudah berkuliah dengan benar? Kedua, bagaimana nasib orang tua yang rela membiayai anaknya untuk berkuliah?

Sorotan pertama terhadap mahasiswa bukan atas susahnya menempuh pendidikan tinggi di kampus yang dikarenakan mahalnya biaya kuliah. Melainkan atas sikap mahasiswa yang kurang peduli untuk kuliah. Sikap ini terlihat pada aktivitas mahasiswa yang lebih mementingkan giat di luar kampus dibandingkan di dalam kelas untuk belajar.

Sejalan dengan perilaku mahasiswa tersebut, yang patut jadi perhatian lain adalah kondisi orang tua yang tak jarang membiayai kehidupan anaknya sebagai mahasiswa. Biaya yang harus diperjuangkan orang tua untuk anaknya tidak sekadar uang kuliah yang mahal, tapi sekaligus biaya hidup sehari-hari sang anak: makan, minum, uang kosan, uang buku, baju, celana, dan lain sebagainya.

Sebetulnya, nestapa orang tua bukan pada melonjaknya biaya kuliah seperti polemik saat ini, melainkan kepada anaknya yang sudah berkuliah namun tidak berkuliah dengan sebenar-benarnya. Secara faktual, mahasiswa sekarang tidak menjalankan aktivitas kuliah sebagaimana yang diharapkan orang tua.

Di sejumlah kampus, terdapat ragam jenis status mahasiswa. Ada yang sebenar-benarnya berkuliah, adapun yang tidak kuliah. Status mahasiswa sekadar disematkan karena melunasi uang kuliah, tapi malas mengikuti proses belajar: jarang masuk kelas, malas membaca buku, senang kumpul kebo, gemar terlibat pada aktivitas semu. Jenis mahasiswa seperti ini justeru membikin nasib orang tua semakin nestapa.

Tidak salah apabila mahasiswa acapkali meninggalkan ruang belajar untuk hal-hal produktif di luar, seperti berorganisasi dan bersosialisasi. Sebab hal tersebut dapat membantu mahasiswa dalam pengembangan kualitas hidupnya. Selain itu, berorganisasi dan bersosialisasi juga mampu menciptakan relationship mahasiswa menjadi lebih luas.

Ironisnya, kebanyakan mahasiswa beraktivitas di luar ruang kelas bukan untuk perihal produktif, melainkan untuk kesenangan semata. Akibatnya banyak mata kuliah yang terbengkalai, wisuda menjadi lama, memperpanjang waktu orang tua membayar uang kuliah, serta tak jarang mahasiswa diberhentikan (DO).

Baca Halaman Selanjutnya..

Kesadaran mahasiswa saat ini merupakan kesadaran momentuman. Mahasiswa akan sadar apabila ada insiden yang dianggap merugikan. Contoh paling aktual adalah respon atas kenaikan biaya kuliah. Sementara biaya UKT meningkat, mahasiswa baru dapat sadar dan memprotes janggalnya polemik ini. Hal ini sebagai indikasi kesadaran yang momentuman oleh mahasiswa.

Adapun mahasiswa saat ini sok sibuk mengurusi kepentingan banyak orang, sementara secara individu terdapat banyak mata kuliah yang eror atau tidak lulus. Mahasiswa jenis ini merupakan mahasiswa yang tidak sekalipun mengintrospeksi diri, tidak evaluatif, tidak pernah berpikir nasib orang tua yang senantiasa menghidupinya.

Mahasiswa sok sibuk, sok peduli, sok perhatian pada kepentingan banyak orang ini terkadang adalah yang tidak berkualitas. Kepeduliannya atas kondisi universal hanya sekadar untuk mendapatkan pengakuan orang banyak, padahal otaknya kosong, bicaranya seringkali ngawur, tidak jelas apabila berdiskusi.

Fenomena yang menjadi sorotan publik hari ini, tentang kenaikan biaya kuliah, bagi mahasiswa sekarang, seperti ajang untuk memamerkan kepiawaiannya sebagai mahasiswa, yang kritis, responsif, dan sadar akan ketimpangan yang terjadi. Mereka berkamuflase menjadi seorang aktor untuk melawan tirani. Tanpa menyadari, mereka melanggar syarat dan tuntutan orang tua yang menghendaki agar secepatnya beres kuliah.

Mahasiswa yang sudah diberi kesempatan kuliah tapi tidak kuliah selayaknya penghianat. Mereka mengkhianati orang tua sendiri. Label mahasiswa yang melekat pada diri mereka dianggap sebagai bukan sesuatu beban. Status mahasiswa yang diemban dijadikan seperti strata pergaulan. Gengsi dan hedonis, bikin susah orang tua.(*)

Opini ini suda terbit dikoran Malut Post edisi, Kamis 30 Mei 2024.

Exit mobile version