Oleh: Drs. Anwar Muhammad, M.Si
(Alumni Pascasarjana Jurusan Manajemen Universitas Khairun)
Karakter dan kepribadian adalah dua faktor yang menentukan baik buruknya seorang guru terhadap anak didiknya. Guru bisa saja menciptakan kebaikan ataupun keburukan (kerusakan) mental dan masa depan anak didiknya yang masih berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan (masa pendidikan dasar dan menengah). Oleh karena guru sebagai contoh teladan yang ideal untuk ditiru dan digugu oleh anak didik walaupun dalam bentuk hal-hal yang buruk sekalipun.
Paparan ini, mengulas permasalahan karakter dan kepribadian guru di era zaman sekarang. Zaman yang terus mengalami perubahan mengikuti arus perkembangan wilayah material dan kemajuan teknologi. Tentunya dapat memengaruhi karakter dan kepribadian seorang guru. Bahwa guru adalah merupakan insan cendekia, figur sentral dalam pendidikan dan pengajaran merupakan produk perkembangan sejarah terus mengalami perubahan di bidang intelektual dan bidang spiritual.
Dalam perubahan di bidang tersebut, guru diperhadapkan dengan kondisi transformasi kapitalistis mudah terjebak dalam ideologi komersialisme yang membabi buta demi pemenuhan gaya hidup yang konsumtif. Maka di sini guru diuji untuk menempatkan diri dalam kepribadian dan karakter progresif serta sebagai manusia yang memiliki lima unsur dimensi manusia secara psikologis dan sosiologis yang membentuk karakter yakni sikap,emosi, kepercayaan, kebiasaan dan kemauan serta konsepsi diri.
Dijelaskan bahwa sikap merupakan bagian dari karakter diri seseorang bahkan sebagai cerminan dari suatu karakternya. Sikap yang ditunjukkan seseorang terhadap sesuatu di hadapannya sebagai wujud dari karakter yang dimiliki oleh orang tersebut. Dan untuk menilai karakter seseorang tentunya dari sikap yang dia tunjukkan.
Emosi merupakan suatu perasaan atau gejolak jiwa yang lahir dari diri seseorang oleh adanya stimulus yang datang dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Emosi adalah bumbu kehidupan, karena tanpa emosi kehidupan manusia akan terasa hambar, dengan emosi manusia bisa berpikir dan merasa.
Kepercayaan merupakan faktor sosiopsikologis yang membentuk komponen kognitif manusia. Kepercayaan akan sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman dan intuisi, sangat penting untuk membangun watak dan karakter individu karena dengan kepercayaan memperkokoh eksistensi diri dan memperkokoh hubungan seseorang dengan orang lain.
Kebiasaan adalah faktor sosiopsikologis membentuk komponen konatif, sebagai aspek perilaku manusia yang menetap berlangsung otomatis tanpa direncanakan. Kebiasaan sebagai hasil pelaziman dan berlangsung dalam waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang berulang-ulang kali.
Suatu kebiasaan, yang biasanya dilakukan akan menunjukkan karakter, misalnya guru yang terbiasa datang terlambat mengajar, dikatakan karakter pemalas. Sedangkan kemauan adalah kondisi yang mencerminkan karakter seseorang. Seseorang yang kemauan keras kadang ingin mengalahkan kebiasaan. Akan tetapi ada seseorang yang kemauannya lemah mudah dikalahkan kebiasaan. Kemauan dan tindakan erat berkaitan, bahkan kemauan dikatakan sebagai tindakan adalah usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
Konsepsi diri adalah proses menangkal kecendrungan mengalir dalam hidup. Bahwa konsepi diri adalah bagaimana ”saya”harus membangun diri, apa yang ”saya” inginkan dari dan bagaimana “saya” menempatkan diri dalam kehidupan.
1. Pengenalan Karakter
Dalam pemahaman bahwa karakter sama dengan kepribadian. Namun menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan oleh Doni Koesoema kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, juga bawaan sejak lahir.
Bahwa pola tingkah laku dan perbuatan seseorang dalam merespon situasi dengan konsistensi tertentu, biasanya kita pahami sebagai karakter dan kepribadiannya. Misalnya seorang yang selalu menangis saat dirudung masalah, disebut sebagai orang berkarakter cengeng, sedangkan seorang yang selalu marah ketika ditimpa masalah pelik sekecil apapun akan nampak pola-pola respon sebagai orang dengan kepribadian pemarah. Selain itu ada orang yang berkarakter lemah lembut, periang, jujur, dan ramah. Ada pula orang berkepribadian pemalu, keras kepala, otonomi, dermawan, kikir, dan kreatif.
Dalam suatu institusi bila dipenuhi oleh orang-orang dan pemimpin yang tak jujur serta buruk karakter dan kepribadiannya, sudah tentu membawa dampak buruk bagi institusi tersebut. Sebagaimana kenyataan maraknya korupsi, penyebaran berita hoaks dan fitnah, merekayasa dan mencurangi hasil pemilu (pilpres, peleg dan pilkada), politik uang, jual beli jabatan, pencitraan diri, pembuatan peraturan dan kebijakan yang instan dan pragmatis, nepotisme, politik dinasti, dan melanggar etik berat dengan mengotak-atik konstitusi. Maka dengan pasti membawa kerusakan dan kehancuran institusi bahkan negara.
2. Guru Kapitalistis
Mengapa guru kapitalistis dalam paparan ini. Bukankah ini sesuatu yang menjastis eksistensi guru. Tentunya tidak. Bahwa moderenisasi memotivasi seseorang untuk selalu berusaha meraih keuntungan secara pribadi (personal) dengan jalan berkompetisi. Ini merupakan suatu gejala dan fenomena yang terus terjadi dalam pergumulan dunia pendidikan.
Bilamana pendidikan telah tergerus oleh kapitalisme, benar-benar menjajah dan menyusup masuk ke dalam relung sistim pendidikan. Maka dalam penyelenggaraan pendidikan rentang melahirkan kebijakan-kebijakan yang merubah pola pikir seseorang tentang tujuan dasar pendidikan dari mencerdaskan dan memanusiakan manusia bergeser ke orientasi bisnis pasar.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dari argumen di atas maka sangat jelas bahwa pendidikan diarahkan bagi seseorang dengan cita-cita untuk meraih pendidikan setinggi mungkin dalam tujuan untuk menggapai sebuah gelar akademik yang dapat merubah status sosial demi memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dan menjanjikan.
Penulis menggaris bawahi, bahwa ada kecendrungan institusi pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) melahirkan pendidikan dengan sumber daya manusia yang condong berprilaku egois, begitu kental bersikap individual, yang menyebabkan rapuhnya rasa solidaritas dan kehidupan spiritual . Pribadi-pribadi yang terbentuk tidak lagi bersahaja tapi mengarah pada sikap materialis.
Adalah bukti sebagai pribadi guru yang memanfaatkan profesinya untuk menghasikan uang dan keuntungan. Inilah yang dinamakan guru kapitalistis dalam konsep berpikir cenderung pada pendidikan kapitalisme sebagai sektor jasa perdagangan (bukan pelayanan masyarakat). Maka guru tersebut lebih banyak mengejar uang dari pada melaksanakan tugas kegiatan belajar mengajar.
Tak jarang yang bersangkutan pergi meninggalkan tugas dan kewajibannya hingga berbulan-bulan tanpa ada rasa bersalah dan malu terhadap diri pribadi. Namun ironisnya penuntutan gaji dan tunjangan dialah orang yang terdepan dan menyolok. Bahkan mengejar karier moncer sebagai kepala sekolah (jabatan basah) dia termasuk yang paling bersemangat, sekalipun memiliki kompetensi dan kemampuan yang minim di bawah rata-rata.
Tak heran bila dalam hal pengangkatan dan penugasan kepala sekolah berbuntut pada kesenjangan sosial. Kepala sekolah tak bisa berbuat banyak untuk menjalankan Tupoksinya (Tugas pokok dan fungsi) dalam kepemimpinan pemelajaran dengan baik dan inovatif. Karena untuk mendapatkan posisi ini diwarnai dengan permainan kekuasaan dan kekuatan politik, orang dalam (ordal) dan jual beli jabatan.
Pengalaman telah membuktikan sebagai pelajaran dan suatu perseden buruk. Adalah para guru yang telah lulus mengikuti Diklat tiga bulan Calon Kepala Sekolah dan bersertifikat Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS) serta telah berpredikat Guru Penggerak, tapi tak pernah diangkat dan ditugaskan sebagai kepala sekolah sampai tiba masa pensiun (guru yang berNUKS).
Fenomena di atas benar-benar miris, padahal kepala sekolah adalah motor penggerak dan orang yang paling bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan (responsible and accountable) jalannya pendidikan dan pengajaran berorientasi manajemen mutu di sekolah dan terhadap pendidik, peserta didik, staf dan orang tua peserta didik.
Dalam kepemimpinan sekolah, kepala sekolah berfungsi ganda selaku otoritas formal sebagai manajer dan otoritas informal sebagai pemimpin. Maka pengangkatan dan penugasannya bukan karena atas dasar suka atau tidak suka serta karena hak prerogatif pemimpin, namun ini telah jelas diatur dalam koridor dan regulasinya (Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021).
Sehingga bagaimana mungkin seorang guru yang miskin kapasitas, inisiatif, kapabilitas dan inovatif bisakah mengukir ekspektasi sebagai seorang kepala sekolah yang mandiri dan berdedikasi serta memiliki peran sentral dalam membimbing, mengelola dan mengembangkan sekolah? Yang pasti muncul disharmonisasi dan kegaduhan dalam pengelolaan manajemen sekolah dan warga sekolah serta hilangnya kewibawaan kepala sekolah di mata warga sekolah dan masyarakat.
Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi pendidikan berarti memperdagangkan pendidikan. Menurut Kahar ( 2007), dalam salah satu pandangannya tentang istilah komersialisasi Pendidikan yakni, pendidikan yang hanya mementingkan uang namun mengabaikan kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikakan ini biasa dilakukan oleh lembaga atau sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan, namun tidak sepadan dengan uang yang telah diberikan pada lembaga atau sekolah seperti ini, sisa anggaran yang diperoleh tidak ditanamkan kembali untuk infastruktur pendidikan, melainkan untuk anggota yayasan atau pihak-pihak yang menguasai lembaga tersebut.
Banyak permasalahan yang muncul di dalam dunia pendidikan di era globalisasi ini, munculnya moralitas kapitalistis yang mendorong kecendrungan pelaksanaan pendidikan ke arah pendidikan yang berorientasi pada kenikmatan ekonomi materialistis yang melahirkan pendidikan yang condong pada komersialisme sebagai komoditas yang di dalamnya ada transaksi jual beli.
Fakta yang terjadi yakni kenaikan iuran komite dan UKT secara drastis, adanya kantin-kantin dan koperasi-koperasi sekolah yang menjual pakaian seragam sekolah, buku-buku pelajaran serta makanan dan minuman, disamping penjajaan ilmu pengetahuan kepada mereka yang mau membayar dengan harga yang mahal.
Sebagaimana Anies R. Baswedan ( 2023) mengatakan, bahwa pendidikan hanyalah semata-mata untuk menciptakan penjaja ilmu pengetahuran yang akan menjual ilmunya kepada orang yang akan membayarnya dengan harga termahal. Dampak dari komersialisasi pendidikan yakni mahalnya biaya pendidikan yang tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah, sehingga menyebabkan anak-anak mereka tidak dapat menikmati pendidikan dari jenjang pendidikan terendah hingga pendidikan tingga. Nasrun Minallahi Wa Fathun Qarieb.(*)
Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Senin 27 Mei 2024.