Oleh: Aji Deni
(Dekan Fisip UMMU)
Akhir-akhir ini, prahara tentang pertambangan ramai diekspos di berbagai media massa dalam dngan beberapa topik seperti kerusakan lingkungan, tata Kelola izin pertambngan, pajak, politisasi, serta dugaan korupsi pertambangan di beberapa daerah di Idonesia termasuk Maluku Utara. Beberapa sumber berita terbaru menyebutkan:”Pegawai Kementerian ESDM Diperiksa Terkait Kasus Korupsi Timah”(Liputan6.com); “KPK Periksa Direktur BKPM soal Pesanan Izin Tambang Gubernur Malut”(ANTARA News);
“Kasus Korupsi Nikel, Eks Dirjen Minerba ESDM Ridwan Djamaluddin Divonis 3,5 Tahun Penjara”(Jawa Pos); “Kejagung Periksa Sub Koordinator Pemasaran ESDM Terkait Korupsi Timah” (Liputan6.com); “Kejagung Tahan 2 Pejabat ESDM yang Jadi Tersangka Kasus Izin Tambang Ore Nikel di Sultra” (Kompas.com); “Korupsi Timah Diduga Libatkan Pejabat Lintas KL, Kejagung Diminta Tak Tebang Pilih” (Media Indonesia); “KPK Ingatkan Pejabat Kementerian ESDM Kooperatif” (Medcom.id);
“Bekas Pejabat Kementerian ESDM Terseret Kasus Korupsi, Pengamat: Karena Pengawasan Lemah (Bisnis Tempo); “2 Pejabat Tinggi Kementerian ESDM Jadi Tersangka di Kejagung!” (CNBC Indonesia). Sebagai informasi awal memang adanya praktek dugaan korupsi pertambangan melibatkan pejabat yang berwewenang dan pebisnis tambang di Indonesia.
Dari jejak pemberitaan media massa nasional tersebut, kita juga dapat memahami bahwa “korupsi politik pertambangan” adalah bentuk korupsi yang terjadi dalam sektor pertambangan, di mana para pejabat pemerintah atau politisi menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok melalui tindakan ilegal terkait perizinan, operasi, dan regulasi pertambangan seperti praktek suap, kolusi, nepotisme, penggelapan, pencucian uang, dan manipulasi proses hukum atau administratif untuk menguntungkan perusahaan pertambangan tertentu atau untuk memperkaya diri sendiri dan rekan-rekan politiknya.
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Oktaverina dan Prakoso (2024) cukup mengejutkan karena ternyata hasil penelitiannya mengurai regulasi izin pertambangan dianggap sering kali berbelit-belit dan kurang konsisten, sehingga menimbulkan tantangan bagi para investor dalam menjalankan izin operasinya. Perubahan-perubahan regulasi sebelumnya seperti yang dibahas oleh Agassi et al. (2023), menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk memperbaiki kerangka hukum, namun implementasinya masih menghadapi banyak kendala.
Hasil penelitian terbaru lainnya Lestari dan Winedar (2024) serta Djunawan dan Widianingsih (2023) mengungkapkan perusahaan pertambangan yang memiliki koneksi politik cenderung melakukan penghindaran pajak yang lebih agresif sehingga tidak hanya merugikan pendapatan negara, tetapi juga menciptakan persaingan yang tidak sehat di antara perusahaan. Koneksi politik memberikan keuntungan yang tidak adil dan mengabaikan prinsip- transparansi dalam bisnis.
Sri (2023) dan Elsi (2023) menemukan bahwa perusahaan pertambangan di Indonesia sering menggunakan berbagai strategi bisnis untuk menghindari pajak yang didukung oleh kebijakan yang tidak terlalu ketat dan koneksi politik yang dimiliki oleh perusahaan. Selain itu, praktek pertambangan, terutama di sektor batubara dan nikel, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar.
Lusiana et al. (2024) dan Agussalim et al. (2023) menyoroti bahwa eksploitasi sumber daya alam tanpa pengelolaan yang baik telah menyebabkan deforestasi (rusaknya hutan) seeprti hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran air, sungai dan tanah di sekitar lokasi pertambangan sering kali tercemar oleh limbah berbahaya, yang merusak ekosistem dan mengancam kesehatan masyarakat setempat.
Komunitas yang tinggal di sekitar area pertambangan sering kali menghadapi pemindahan paksa, hilangnya mata pencaharian, dan gangguan kesehatan akibat polusi. Artikel oleh Lusiana et al. (2024) menunjukkan bahwa kompensasi dan dukungan yang diberikan kepada masyarakat terdampak sering kali tidak memadai. Akibatnya, terjadi ketidakadilan sosial yang mendalam, di mana keuntungan ekonomi dinikmati oleh segelintir elit, sementara mayoritas masyarakat menanggung beban kerugian.
Kerugian Keuangan akibat korupsi dalam sektor pertambangan mengakibatkan kerugian keuangan yang besar bagi negara. Praktik korupsi seperti penerimaan suap atau mark-up dalam kontrak pertambangan menguras sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Bahkan Korupsi telah berdampak buruk terhadap ketidakadilan sosial karena seharusnya sumber daya alam yang menjadi milik bersama masyarakat dimanfaatkan oleh segelintir orang atau kelompok, meningkatkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Di luar sana, sudah terlihat berbagai kerusakan lingkungan akibat dari praktik korupsi dalam pertambangan.
Dampak buruk lingkungan masih lemah dari pengawasan, dan kita semua yang akan menuai dampak buruk kerusakan lingkungan yang parah, seperti pencemaran air dan udara, deforestasi, serta hilangnya habitat bagi flora dan fauna lokal. Korupsi dalam sektor pertambangan bukan hanya masalah moral, tetapi juga memiliki dampak yang sangat nyata dan merusak bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Semua fenomena itu justru memiliki latar belakang, ada indikasi bahwa di balik prospek pertambangan ternyata muncul berbagai modus operandi Korupsi. Apa yang ditulis oleh Azizah, FN. (2022), Saleh, MD. (2019) menemukan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin usaha pertambangan dan praktik rent seeking (mengejar keuntungan). Bagaimana pejabat pemerintah atau kepala daerah menggunakan posisi dan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi atau kepentingan politik.
Demikian pula Afdalia, N., Kafrawi, M., & Nutfa, M. (2023) menyajikan perspektif tentang “Elite Capture” dalam korupsi pada masa pertumbuhan pertambangan nikel di Sulawesi Tengah, dimana diduga pihak-pihak elit atau yang memiliki kekuasaan menyalahgunakan posisi dan kekuasaannya untuk mengamankan keuntungan pribadi dari industri pertambangan, merugikan negara dan masyarakat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Dampak dari praktik korupsi dalam sektor pertambangan bisa sangat merugikan. Selain kerugian finansial bagi negara dan masyarakat, korupsi juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan alam, serta menghambat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Hadiwiyoso, S. (2023) dan Hadiwiyoso, S., Panggabean, ML., & yang lain (2023) menyarankan agar perlu ada upaya-upaya pencegahan korupsi dalam izin sektor pertambanga dan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, hasil penelitian Putri, EA., Rahayu, IP., Komaria, L., & Butar, FB. (2023) juga menyarankan transparansi dan sentralisasi izin usaha pertambangan untuk meminimalkan korupsi. Praktik korupsi dalam sektor pertambangan tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan.
Untuk mengatasi korupsi dalam sektor pertambangan, beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan termasuk peningkatan transparansi dalam proses penerbitan izin, penguatan lembaga pengawasan dan pemberantasan korupsi, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, reformasi kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada sektor pertambangan dan diversifikasi ekonomi juga dapat membantu mengurangi risiko korupsi dalam sektor ini.
Untuk mengatasi masalah korupsi dalam sektor pertambangan, langkah-langkah pencegahan menjadi sangat penting. Ini termasuk peningkatan transparansi dalam proses penerbitan izin, penguatan lembaga pengawasan dan pemberantasan korupsi, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi.
Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam juga diperlukan dengan cara menyerukan pengurangan ketergantungan pada sektor pertambangan dengan Langkah-langkah diversifikasi ekonomi sekor lainnya untuk mengurangi risiko korupsi.
Konteks Maluku Utara
Berdasarkan data Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdaftar di Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (data per Mei 2019), ada 89 IUP di Maluku Utara dengan perincian 7 IUP diterbitkan oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 42 IUP oleh Gubernur Maluku Utara, dan 40 IUP oleh Bupati/Walikota di 10 Kabupaten Kota. Data ini juga mengkonfimasi bahwaan izin produksi 89 IUP dimulainya produksi awal sejak tahun 2023-2040. Izin produksi terbanyak akan dimulai pada tahun 2029 yaitu 14 izin pertambangan, 20 IUP produksi tahun 2030, dan 21 IUP Produksi tahun 2031.
Sisanya rata-rata antara 1-7 IUP Produksi. Jika produksi benar-benar direalisasikan, sebenarnya Maluku Utara diprediksi akan mengalami “economy booming”, periode ekspansi ekonomi yang pesat, menghasilkan PDB lebih tinggi, dan pengangguran lebih rendah. Namun seiring dampak positif, muncul pula dampak buruknya seperti kerusakan lingkungan dan dugaan praktek korupsi pertambangan yang diduga melibatkan oknum pejabat daerah.
Dugaan korupsi pertambangan yang sedang ditangani oleh Lembaga Adyaksa dan KPK penyelidikan terhadap dugaan korupsi ini menyasar petinggi politisi partai politik, eks pejabat daerah, pengusaha mulai dari modus proses penerbitan izin lingkungan hingga penyalahgunaan kekuasaan terkait pelelangan jabatan. Dampak buruk pertambangan dirasakan penderitaannya oleh masyarakat adat yang berdiam di Hutan Halmahera.
Penegasan ini menyerukan perlu adanya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan yang lebih serius lagi. Pentingnya memberlakukan regulasi pertambangan untuk memastikan usaha pertambangan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan termasuk pengawasan ketat terhadap izin usaha pertambangan (IUP) dan perizinan lingkungan. Memang disadari bahwa pertumbuhan ekonomi dalam 3 tahun terakhir relatif meningkat pesat.
Berdasarkan data BPS Maluku Utara tahun 2024, pertumbuhan ekonomi sektor Industri dan pertambangan tahun 2021, 2022, dan 2023 relatif tinggi, namun data BPS juga mengkonfirmasi bahwa penduduk miskin di Maluku Utara relatif menanjak naik sejak tahun 2022-2023. Fenomena ini mengambarkan adanya jarak atau gap antara pertumbuhan ekonomi dengan bertambahnya angka kemiskinan di Maluku Utara. Solusinya, diperlukan adanya kolaborasi antara KPK, Parlemen, peradilan, LSM lingkungan hidup, dan dunia kampus dalam menciptakan sinergi yang kuat untuk mengatasi korupsi di sektor pertambangan.
Di sektor Pendidikan, perlu adanya kurikulum pendidikan anti-korupsi dengan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Demikian pula perlu mengintegrasikan komitmen anti-korupsi dalam platform partai politik dengan program kerjanya dalam mengedukasi kader partai terutama calon pejabat publik. Dengan kolaborasi yang efektif antara berbagai pihak, korupsi di sektor pertambangan dapat ditekan, menciptakan pengelolaan pertambangan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Jum’at 24 Mei 2024.